Kamis, 15 Maret 2012

GAGASAN MAXHORKHEIMER
Ahmad Jazuli
Gagasan Max Horkheimer sangat banyak melampaui batas pemikrian yang ada pada masanya. Sebagai pemegang kendali di Farnkfurt School dan membawa institusi ini melahirkan pemikir-pemikir Sosiologi kritis, tulisannya terbangun dalam narasi pikiran yang beragam. Meski begitu, ada beberapa istilah terkenal sebagai konsep pemikirannya yang dapat kita kutip, yakni Filsafat Sosial dan Dialektika Pencerahan.
Yang perlu dicatat, bahwa dua istilah itu bukan berarti mewakili keseluruhan pemikiran Max Horkheimer. Penulis sengaja hanya menyuguhkan dua pokok pikiran ini sebagai gambaran tentang pengaruh pikiran Max Horkheimer pada perjalanan teori Sosiologi kritis yakni dalam membangun sebuah cara pandang filsafat sosial yang terbarukan sebagai gagasan akomodir adaptif dari karya-karya Marx (dialektis materialis ekonomi), Hegel (ideal rasional historis), Immanuel Kant (perspektif normatif subjek otonom), dan Sigmund Freud (psikoanalisa). Pola adaptasi ini sebenarnya menuai kritik tajam karena dianggap sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme, meski disisi lain sebenarnya telah membesarkan nama Marx itu sendiri.
.
Filsafat Sosial: Sebuah Generasi Baru Sosiologi
Filsafat Sosial disampaikan oleh Horkheimer pada pidatonya saat menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt menggantikan Carl Grunberg. Horkheimer ingin menegaskan bahwa Farnkfurt School di bawah pimpinannya akan melakukan rekonstruksi ulang pemikiran sosiologi melalui institusi ini. Ia mengkritik keras keilmuan Sosiologi yang beku, berstandar ilmu yang ilmiah (scientific), dan ingin membongkar kembali kajian Sosiologi melalui ranah filsafat, yakni pencarian kebenaran dan penggerak perubahan sosial, bukan sekedar menempatkan realitas sosial sebagai objek.
Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam buku Eclipse of Reason pada tahun 1933 ketika dia di Amerika dalam puncaknya menentang kapitalisme.
“…Individu-individu sejati zaman ini adalah martir-martir yang tenggelam dalam neraka-neraka penderitaan dan keburukan dalam perlawanan mereka terhadap perbudakan dan penindasan. Mereka bukanlah kepribadian-kepribadian yang mendongak, kaum terkemuka seperti lazimnya. Pahlawan-pahlawan tak dikenal itu secara sadar menyatakan eksistensinya sebagai individu-individu terhadap pembinasaan secara teror. Lain dengan mereka-mereka yang secara tidak sadar menanggung pembinasaan itu lewat proses sosial. Martir-martir tak bernama dari kamp-kamp konsentrasi adalah simbol-simbol dari kemanusiaan yang mencoba untuk lahir. Filsafat bertugas untuk menterjemahkan apa yang mereka kerjakan ke dalam bahasa yang dapat didengar, meski suara mereka dibungkam oleh tirani[1]
Keilmuan Sosiologi yang dikritik oleh Max Horkheimer adalah keilmuan Positivistik yang merambah dunia Sosiologi secara dominan saat itu. Para Sosiolog positivis itu dianggap hanya menyampaikan data dalam kedok objektivitas, tanpa memberikan narasi semangat perubahan apapun. Mereka hanya menyampaikan gambaran sosial masyarakat, perubahan yang terjadi, dan data-data realitas sosial lain, atau fakta-fakta sosial dalam bahasa Durkheim. Bagi Max Horkheimer, sosiolog netral yang melarang menggunakan emosi dan perasaan serta keberpihakan (lagi-lagi dengan dalih empiris dan objektivitas) seperti ini sama sekali tidak akan menciptakan tatanan sosial yang membebaskan. Sebaliknya, mereka melanggengkan sistem masyarakat yang dominative atau bahkan membiarkan penindasan terjadi dalam sistem.
Untuk memperjelas pembahasan mengapa Max Horkheimer menyampaikan pentingnya pembongkaran filsafat sosial ini, kita buka ruang sedikit saja untuk berdikusi kembali perjalanan filsafat sosial, yakni saat Plato dan Aristoteles membuka kajian terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan menjadi objek penelitian tersendiri. Plato dan Aristoteles menulis susunan masyarakat sebagai susunan kosmos yang abadi, manusia wajib untuk melakukan penyesuaian diri dan mentatati susunan itu. Paham ini berkembang bahwa kosmos tidak berdiri sendiri, tetapi ada kekuasaan Allah sebagai pencipta ketertiban kosmos.
Filsafat sosial Plato dan Aristoteles mengalami perubahan besar pertama saat masa renaissance[2]. Ada semangat baru untuk melepaskan diri dari kungkungan absolut gereja. Pencarian alternative itu memunculkan pemikir-pemikir filsafat sosial seperti Locke, Berkeley, Hume, Montesquieu, Voltaire, Diderot, d’Alembert, dan Rousseau. Mereka membangun filsafat untuk membangun perubahan yang bersumber dari kekuatan manusia.
Filsafat sosial ini mengalami perubahan besar kedua saat keberhasilan revolusi Prancis tahun 1789 yang meruntuhkan susunan masyarakat feodal. Hal yang tentu tidak pernah terpikirkan di saat itu dimana kekuatan absolut tirani raja yang “diberkati” oleh kehendak Allah dapat diruntuhkan oleh kekuatan manusia. Gagasan kebebasan berkembang. Berbagai struktur sosial yang sudah ada sebelumnya kini dibongkar. Lahirlah para filusuf sosial sebagai perintis keilmuan sosiologi.
Pikiran para filusuf itu berkembang semakin dinamis, setidaknya ada dua aliran filsafat sosial yang saling mempengaruhi masyarakat sebagai bagian dari dinamika sosial yang mencari identitasnya di saat itu. Pertama, aliran konservatif. Pemikiran ini menginginkan kembalinya kekuatan feodal dan hegemoni agama. Kedua, aliran progressif. Pemikiran kedua menyesalkan anarkhi dan perpecahan, tetapi kembali ke zaman feodal bukanlah penyelesaian masalah. Tokoh-tokoh progressif di saat itu seperti Saint Somon, Charle Fourrier, Pierre Joseph Proudhon dan tidak ketinggalan Auguste Comte.
Perjalanan sosial demikian melahirkan pemikiran Auguste Comte tentang filsafat positivis. Sejalan dengan revolusi industri yang bermula di akhir abad 18, Comte meramalkan tentang abad baru era industr, di mana era magic-teologis dan metafisik telah lewat. Comte bahkan mendeklarasikan filsafat positivisme sebagai filsafat sosial terakhir dengan mengetengahkan nama sosiologi sebagai keilmuannya.
Perjalanan sosiologi berlanjut. Pikiran Auguste Comte yang progressif di masa itu sekarang berganti menjadi konservatif. Syarat-syarat positivistik yang empiris dikritik sebagai pengkerdilan ilmu sosiologi, bahwa ada banyak relaitas sosial yang bisa dibuka tidak semata melalui pengamatan empiris, tetapi dapat menyingkap realitas lebih dalam dari sekedar yang tampak oleh indra. Filsafat sosial generasi baru ini yang dikemukakan oleh Horkheimer dibangun dengan menyempurnakan aliran filsafat yang telah berkembang dengan menempatkan filsafat sosial lebih emansipatoris terhadap peran individu masyarakat.
Pada dasarnya, filsafat sosial yang ingin disempurnakan oleh Hokherimer adalah pikiran Karl Marx, meski Horkheimer juga mengkritisi teroi-teorinya Marx, khususnya terkait cita-cita Marx membangun masyarakat tanpa kelas. Tetapi penolakan Horkheimir pada filsafat positivis menjadi babak baru stimulasi kemunculan teori kritis dan membangun kelompok Neo-Marxis. Gagasan Horkheimer adalah melakukan revisi gagasan Marx sebagai adaptasi praksis yang sesuai dengan zamannya.
Munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya kapitalisme monopolis di Eropa. Sekolah Frankfurt, termasuk Horkheimer memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya. Hal ini cenderung menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.
Karena itu bagi Max Horkheimer, rekonstruksi ulang aliran sosiologi Frankfrut ini akan mengembalikan posisi teori Marxis pada cita-cita Marx yang sebenarnya. Semangat Max Horkheimer membangun generasi baru sosiologi ini menyuntikkan semangat para aliran Marx untuk membangun “koalisi” aliran sosiologi dan juga para sosiolog yang gerah dengan perubahan. Berbagai pemikiran kritis yang kemudian berkembang dalam institusi Frankfut School ini pada akhirnya membentuk sebuah mazhab tersendiri pada kajian Sosiologi, yakni Mazhab Frankfrut.
Untuk membangun filsafat sosial baru itu, Horkheimer melakukan adaptasi dari karya-karya Marx (dialektis materialis ekonomi), Hegel (ideal rasional historis), Immanuel Kant (Imperatif kategoris dan Idealisme ), dan Sigmund Freud (psikoanalisa). Max Horkheimer menyuguhkan cara baru dalam menerjemahkan keilmuan sosiologi tidak semata kajian empiris yang kaku. Max Horkheimer menyuguhkan sebuah “interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota masyarakat[3]”.
Untuk menggambarkan bagaimana Max Horkheimer menuliskan Filsafat Sosial adalah menjelaskan tentang bagaimana Sosiolog berperan mendobrak status quo, yakni setiap orang adalah produsen yang menciptakan dominasi di masyarakat[4]. Oleh sabab itu kita tidak boleh menerima kebenaran begitu saja tanpa ada telaah kritis, agar dominasi seseorang tidak serta merta menjadi bagian dari penindasan. Alasan ini menambah pentingnya ilmu pengetahuan sosial sebagai kajian masyarakat untuk emansipatoris.
Sejelasnya dapat kita tangkap bahwa Filsafat Sosial mengajak kita membongkar persayratan objektivitas dalam sosiologi positivistic. Apa yang disebutkan dalam telaah empiris yang mereka sebut sebagai syarat ilmu ilmiah yang objektif dalam filsafat sosial dianggap tidak mencerahkan partisipasi individu untuk membangun kesadaran emansipatoris mereka bermasayarakat dan menciptakan tatanan sosial yang membebaskan.
Apa yang dibangun Horkheimer dalam sekolah Franfrut tidak sia-sia. Para teoretisi kritis benar-benar menempatkan institusi ini untuk bergerak secara progressif mebangun teori kritis. Dari sekolah Frankfurt ini kemudian kita mengenal pikiran Harbert Marcuse dalam mengembangkan ide-ide pokoknya melakukan rekonstruksi rasionalitas, memunculkan bermacam-macam rasio dalam tataran praksisnya, yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio kognitif dan rasio ilmiah.
Tokoh lain, Habermas sebagai tokoh paling kritis dalam melihat fenomena sosial masyarakat melakukan rerekonstruksi nalar masyarakat agar terbentuk ruang yang steril dari dominasi. Harapan Hebermas adalah segera terwujudnya sikap emansipatoris pada individu bermasyarakat. Untuk itu Habermas mengkritisi mecetnya teori kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemologi praksis dari rasionalitas ilmu. Habermas bermabisi membentuk masyarakat komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan.
Sekolah Frankfurt sebagai stimulasi lahirnya teori-teori sosiologi kritis (yang kemudian berkembang menjadi mzahab sosial Frankfurt) semakin kuat karena didukung oleh  sarjana-sarjana dari berbagai bidang keilmuan seperti Horkheimer sendiri (Filsafat Sosial), Friedrich Pollock (Ekonomi), Leo Lowenthal (Sosiologi, kesusasteraan), Walter Benjamin (Kesusasteraan), Theodor W. Adorno (Musikologi, Filsafat, Psikologi, Sosiologi), Erich Fromn (Psikoanalisa), Harbert Marcuse (Filsafat), Edmund Husserl (Filsafat), dan Jurgen Habermas (Filsafat).
Horkheimer  sangat terpengaruh oleh Immanuel Kant. Aufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia dimanfaatkan sebagai optimisme oleh Horkheimer. Manusia yang berakal budi dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan akibat pihak di luar dirinya. Di sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia yang menurut Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional.
Horkheimer memulai teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan; “dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?”, “bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?”, “manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?”, “di mana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?” dsb. Dari pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang memonopoli kemanusiaannya.
Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik tradisional di mana terdapat tiga hal yang harus dilakukan;
  1. Kita harus kritis terhadap masyarakat,
  2. Kita harus berpikir historis,
  3. Kita harus tidak memisahkan teori dan praksis.
Tokoh-tokoh yang ekmdudian tergabung dalam Mazhab Frankfurt adalah sebagai berikut (tokoh Sosiologi Kritis);
  1. Theodor W. Adorno
  2. Max Horkheimer
  3. Walter Benjamin
  4. Herbert Marcuse
  5. Alfred Sohn-Rethel
  6. Leo Löwenthal
  7. Franz Neumann
  8. Franz Oppenheimer
  9. Friedrich Pollock
  10. Erich Fromm
  11. Alfred Schmidt
  12. Jürgen Habermas
  13. Oskar Negt
  14. Karl A. Wittfogel
  15. Susan Buck-Morss
  16. Axel Honneth
  17. Jean-Francois Lyotard
  18. Richard Rorty
  19. Jacques Lacan
  20. Gilles Deleuze
  21. Felix Guattari
  22. Michel Foucault
  23. Derrida

Daftar Pustaka
Budiyanto, Lilik. Konsepsi filsafat sosial menurut ajaran Max Horkheimer (1895-1973). Fakultas Filsafat UGM/.Yogyakarta. 1986
Horkheimer, Max . Ilmu Sosial (Filsafat dan Teori): Between philosophy and social science. The MIT Press, 1995
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
K. Dwi Susilo, Rahmat. 20 Tokoh Sosiologi Modern. LKiS. Yogyakarta.


[1] Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 102-114.
[2] Kebudayaan Renaisans ditujukan untuk menghidupkan kembali Humanisme Klasik yang sempat terhambat oleh gaya berpikir sejumlah tokoh Abad Pertengahan. Renaisans membongkar tradisi kolot gereja dengan era pencerahan baru yang lebih mengutamakan logika dan rasionalitas.
[3] Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
[4] Lihat 20 Tokoh Sosiologi Modern, hal. 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar