GAGASAN MAXHORKHEIMER
Ahmad Jazuli
Gagasan Max Horkheimer sangat banyak melampaui batas
pemikrian yang ada pada masanya. Sebagai pemegang kendali di Farnkfurt
School dan membawa institusi ini melahirkan pemikir-pemikir Sosiologi
kritis, tulisannya terbangun dalam narasi pikiran yang beragam. Meski begitu,
ada beberapa istilah terkenal sebagai konsep pemikirannya yang dapat kita
kutip, yakni Filsafat Sosial dan Dialektika Pencerahan.
Yang perlu dicatat, bahwa dua istilah itu bukan
berarti mewakili keseluruhan pemikiran Max Horkheimer. Penulis sengaja hanya
menyuguhkan dua pokok pikiran ini sebagai gambaran tentang pengaruh pikiran Max
Horkheimer pada perjalanan teori Sosiologi kritis yakni dalam membangun sebuah
cara pandang filsafat sosial yang terbarukan sebagai gagasan akomodir adaptif
dari karya-karya Marx (dialektis materialis ekonomi), Hegel (ideal rasional
historis), Immanuel Kant (perspektif normatif subjek otonom), dan Sigmund Freud
(psikoanalisa). Pola adaptasi ini sebenarnya menuai kritik tajam karena
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme, meski disisi lain
sebenarnya telah membesarkan nama Marx itu sendiri.
.
Filsafat
Sosial: Sebuah Generasi Baru Sosiologi
Filsafat Sosial disampaikan oleh Horkheimer pada
pidatonya saat menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt menggantikan Carl
Grunberg. Horkheimer ingin menegaskan bahwa Farnkfurt School di bawah
pimpinannya akan melakukan rekonstruksi ulang pemikiran sosiologi melalui
institusi ini. Ia mengkritik keras keilmuan Sosiologi yang beku, berstandar
ilmu yang ilmiah (scientific), dan ingin membongkar kembali kajian
Sosiologi melalui ranah filsafat, yakni pencarian kebenaran dan penggerak
perubahan sosial, bukan sekedar menempatkan realitas sosial sebagai objek.
Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam
buku Eclipse of Reason pada tahun 1933 ketika dia di Amerika dalam
puncaknya menentang kapitalisme.
“…Individu-individu sejati zaman ini adalah
martir-martir yang tenggelam dalam neraka-neraka penderitaan dan keburukan
dalam perlawanan mereka terhadap perbudakan dan penindasan. Mereka bukanlah
kepribadian-kepribadian yang mendongak, kaum terkemuka seperti lazimnya.
Pahlawan-pahlawan tak dikenal itu secara sadar menyatakan eksistensinya sebagai
individu-individu terhadap pembinasaan secara teror. Lain dengan mereka-mereka
yang secara tidak sadar menanggung pembinasaan itu lewat proses sosial.
Martir-martir tak bernama dari kamp-kamp konsentrasi adalah simbol-simbol dari kemanusiaan yang
mencoba untuk lahir. Filsafat bertugas untuk menterjemahkan apa yang mereka
kerjakan ke dalam bahasa yang dapat didengar, meski suara mereka dibungkam oleh
tirani[1]”
Keilmuan Sosiologi yang dikritik oleh Max Horkheimer
adalah keilmuan Positivistik yang merambah dunia Sosiologi secara dominan saat
itu. Para Sosiolog positivis itu dianggap hanya menyampaikan data dalam kedok
objektivitas, tanpa memberikan narasi semangat perubahan apapun. Mereka hanya
menyampaikan gambaran sosial masyarakat, perubahan yang terjadi, dan data-data
realitas sosial lain, atau fakta-fakta sosial dalam bahasa Durkheim. Bagi Max
Horkheimer, sosiolog netral yang melarang menggunakan emosi dan perasaan serta
keberpihakan (lagi-lagi dengan dalih empiris dan objektivitas) seperti ini sama
sekali tidak akan menciptakan tatanan sosial yang membebaskan. Sebaliknya,
mereka melanggengkan sistem masyarakat yang dominative atau bahkan membiarkan
penindasan terjadi dalam sistem.
Untuk memperjelas pembahasan mengapa Max Horkheimer
menyampaikan pentingnya pembongkaran filsafat sosial ini, kita buka ruang
sedikit saja untuk berdikusi kembali perjalanan filsafat sosial, yakni saat
Plato dan Aristoteles membuka kajian terhadap persoalan-persoalan
kemasyarakatan menjadi objek penelitian tersendiri. Plato dan Aristoteles
menulis susunan masyarakat sebagai susunan kosmos yang abadi, manusia wajib
untuk melakukan penyesuaian diri dan mentatati susunan itu. Paham ini
berkembang bahwa kosmos tidak berdiri sendiri, tetapi ada kekuasaan Allah
sebagai pencipta ketertiban kosmos.
Filsafat sosial Plato dan Aristoteles mengalami
perubahan besar pertama saat masa renaissance[2]. Ada semangat baru untuk
melepaskan diri dari kungkungan absolut gereja. Pencarian alternative itu
memunculkan pemikir-pemikir filsafat sosial seperti Locke, Berkeley, Hume,
Montesquieu, Voltaire, Diderot, d’Alembert, dan Rousseau. Mereka membangun
filsafat untuk membangun perubahan yang bersumber dari kekuatan manusia.
Filsafat sosial ini mengalami perubahan besar kedua
saat keberhasilan revolusi Prancis tahun 1789 yang meruntuhkan susunan
masyarakat feodal. Hal yang tentu tidak pernah terpikirkan di saat itu dimana
kekuatan absolut tirani raja yang “diberkati” oleh kehendak Allah dapat
diruntuhkan oleh kekuatan manusia. Gagasan kebebasan berkembang. Berbagai
struktur sosial yang sudah ada sebelumnya kini dibongkar. Lahirlah para filusuf
sosial sebagai perintis keilmuan sosiologi.
Pikiran para filusuf itu berkembang semakin dinamis,
setidaknya ada dua aliran filsafat sosial yang saling mempengaruhi masyarakat
sebagai bagian dari dinamika sosial yang mencari identitasnya di saat itu. Pertama,
aliran konservatif. Pemikiran ini menginginkan kembalinya kekuatan feodal dan
hegemoni agama. Kedua, aliran progressif. Pemikiran kedua menyesalkan
anarkhi dan perpecahan, tetapi kembali ke zaman feodal bukanlah penyelesaian
masalah. Tokoh-tokoh progressif di saat itu seperti Saint Somon, Charle
Fourrier, Pierre Joseph Proudhon dan tidak ketinggalan Auguste Comte.
Perjalanan sosial demikian melahirkan pemikiran
Auguste Comte tentang filsafat positivis. Sejalan dengan revolusi industri yang
bermula di akhir abad 18, Comte meramalkan tentang abad baru era industr, di
mana era magic-teologis dan metafisik telah lewat. Comte bahkan mendeklarasikan
filsafat positivisme sebagai filsafat sosial terakhir dengan mengetengahkan
nama sosiologi sebagai keilmuannya.
Perjalanan sosiologi berlanjut. Pikiran Auguste Comte
yang progressif di masa itu sekarang berganti menjadi konservatif.
Syarat-syarat positivistik yang empiris dikritik sebagai pengkerdilan ilmu
sosiologi, bahwa ada banyak relaitas sosial yang bisa dibuka tidak semata
melalui pengamatan empiris, tetapi dapat menyingkap realitas lebih dalam dari
sekedar yang tampak oleh indra. Filsafat sosial generasi baru ini yang
dikemukakan oleh Horkheimer dibangun dengan menyempurnakan aliran filsafat yang
telah berkembang dengan menempatkan filsafat sosial lebih emansipatoris
terhadap peran individu masyarakat.
Pada dasarnya, filsafat sosial yang ingin disempurnakan
oleh Hokherimer adalah pikiran Karl Marx, meski Horkheimer juga mengkritisi
teroi-teorinya Marx, khususnya terkait cita-cita Marx membangun masyarakat
tanpa kelas. Tetapi penolakan Horkheimir pada filsafat positivis menjadi babak
baru stimulasi kemunculan teori kritis dan membangun kelompok Neo-Marxis.
Gagasan Horkheimer adalah melakukan revisi gagasan Marx sebagai adaptasi
praksis yang sesuai dengan zamannya.
Munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan
suburnya kapitalisme monopolis di Eropa. Sekolah Frankfurt, termasuk Horkheimer
memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana
usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara
perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya. Hal ini cenderung
menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.
Karena itu bagi Max Horkheimer, rekonstruksi ulang
aliran sosiologi Frankfrut ini akan mengembalikan posisi teori Marxis pada
cita-cita Marx yang sebenarnya. Semangat Max Horkheimer membangun generasi baru
sosiologi ini menyuntikkan semangat para aliran Marx untuk membangun “koalisi”
aliran sosiologi dan juga para sosiolog yang gerah dengan perubahan. Berbagai
pemikiran kritis yang kemudian berkembang dalam institusi Frankfut School ini
pada akhirnya membentuk sebuah mazhab tersendiri pada kajian Sosiologi, yakni
Mazhab Frankfrut.
Untuk membangun filsafat sosial baru itu, Horkheimer
melakukan adaptasi dari karya-karya Marx (dialektis materialis ekonomi), Hegel
(ideal rasional historis), Immanuel Kant (Imperatif kategoris dan Idealisme ),
dan Sigmund Freud (psikoanalisa). Max Horkheimer menyuguhkan cara baru dalam
menerjemahkan keilmuan sosiologi tidak semata kajian empiris yang kaku. Max
Horkheimer menyuguhkan sebuah “interpretasi filosofis tentang nasib manusia
sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota
masyarakat[3]”.
Untuk menggambarkan bagaimana Max Horkheimer
menuliskan Filsafat Sosial adalah menjelaskan tentang bagaimana Sosiolog
berperan mendobrak status quo, yakni setiap orang adalah produsen yang
menciptakan dominasi di masyarakat[4]. Oleh sabab itu kita tidak
boleh menerima kebenaran begitu saja tanpa ada telaah kritis, agar dominasi
seseorang tidak serta merta menjadi bagian dari penindasan. Alasan ini menambah
pentingnya ilmu pengetahuan sosial sebagai kajian masyarakat untuk emansipatoris.
Sejelasnya dapat kita tangkap bahwa Filsafat Sosial
mengajak kita membongkar persayratan objektivitas dalam sosiologi positivistic.
Apa yang disebutkan dalam telaah empiris yang mereka sebut sebagai syarat ilmu
ilmiah yang objektif dalam filsafat sosial dianggap tidak mencerahkan
partisipasi individu untuk membangun kesadaran emansipatoris mereka
bermasayarakat dan menciptakan tatanan sosial yang membebaskan.
Apa yang dibangun Horkheimer dalam sekolah Franfrut
tidak sia-sia. Para teoretisi kritis benar-benar menempatkan institusi ini
untuk bergerak secara progressif mebangun teori kritis. Dari sekolah Frankfurt
ini kemudian kita mengenal pikiran Harbert Marcuse dalam mengembangkan ide-ide
pokoknya melakukan rekonstruksi rasionalitas, memunculkan bermacam-macam rasio
dalam tataran praksisnya, yaitu rasio instrumental, rasio yuridis, rasio
kognitif dan rasio ilmiah.
Tokoh lain, Habermas sebagai tokoh paling kritis dalam
melihat fenomena sosial masyarakat melakukan rerekonstruksi nalar masyarakat agar
terbentuk ruang yang steril dari dominasi. Harapan Hebermas adalah segera
terwujudnya sikap emansipatoris pada individu bermasyarakat. Untuk itu Habermas
mengkritisi mecetnya teori kritis dengan mendasarkan teorinya pada epistemologi
praksis dari rasionalitas ilmu. Habermas bermabisi membentuk masyarakat
komunikatif yang terbebas dari dominasi berbagai kekuatan melalui berbagai
argumentasi untuk mencapai sebuah klaim kesahihan yang rasional tanpa paksaan.
Sekolah Frankfurt sebagai stimulasi lahirnya teori-teori
sosiologi kritis (yang kemudian berkembang menjadi mzahab sosial Frankfurt)
semakin kuat karena didukung oleh sarjana-sarjana dari berbagai bidang
keilmuan seperti Horkheimer sendiri (Filsafat Sosial), Friedrich Pollock
(Ekonomi), Leo Lowenthal (Sosiologi, kesusasteraan), Walter Benjamin
(Kesusasteraan), Theodor W. Adorno (Musikologi, Filsafat, Psikologi,
Sosiologi), Erich Fromn (Psikoanalisa), Harbert Marcuse (Filsafat), Edmund
Husserl (Filsafat), dan Jurgen Habermas (Filsafat).
Horkheimer sangat terpengaruh oleh Immanuel
Kant. Aufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia
dimanfaatkan sebagai optimisme oleh Horkheimer. Manusia yang berakal budi dapat
mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan akibat pihak di luar dirinya. Di
sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia yang menurut
Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional.
Horkheimer memulai teori kritisnya dengan
pertanyaan-pertanyaan; “dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam
lingkungannya?”, “bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?”,
“manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?”, “di
mana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?” dsb. Dari
pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial dalam usaha
menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang
memonopoli kemanusiaannya.
Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik
tradisional di mana terdapat tiga hal yang harus dilakukan;
- Kita harus kritis terhadap masyarakat,
- Kita harus berpikir historis,
- Kita harus tidak memisahkan teori dan praksis.
Tokoh-tokoh
yang ekmdudian tergabung dalam Mazhab Frankfurt adalah sebagai berikut
(tokoh Sosiologi Kritis);
- Theodor W. Adorno
- Max Horkheimer
- Walter Benjamin
- Herbert Marcuse
- Alfred Sohn-Rethel
- Leo Löwenthal
- Franz Neumann
- Franz Oppenheimer
- Friedrich Pollock
- Erich Fromm
- Alfred Schmidt
- Jürgen Habermas
- Oskar Negt
- Karl A. Wittfogel
- Susan Buck-Morss
- Axel Honneth
- Jean-Francois Lyotard
- Richard Rorty
- Jacques Lacan
- Gilles Deleuze
- Felix Guattari
- Michel Foucault
- Derrida
Daftar Pustaka
Budiyanto, Lilik. Konsepsi filsafat sosial menurut
ajaran Max Horkheimer (1895-1973). Fakultas Filsafat UGM/.Yogyakarta. 1986
Horkheimer, Max . Ilmu Sosial (Filsafat dan Teori): Between
philosophy and social science. The MIT Press, 1995
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf
dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
K. Dwi Susilo, Rahmat. 20 Tokoh Sosiologi Modern.
LKiS. Yogyakarta.
[1] Simon Petrus L. Tjahjadi.
2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead.
Yogyakarta: Kanisius. Hal. 102-114.
[2] Kebudayaan Renaisans ditujukan
untuk menghidupkan kembali Humanisme Klasik yang sempat terhambat oleh gaya
berpikir sejumlah tokoh Abad Pertengahan. Renaisans membongkar tradisi kolot
gereja dengan era pencerahan baru yang lebih mengutamakan logika dan
rasionalitas.
[3] Dilema Usaha Manusia
Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
[4] Lihat 20 Tokoh Sosiologi
Modern, hal. 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar